Minggu lalu, sebagai bagian dari implementasi aksi nyata dalam program Guru Penggerak yang sedang saya ikuti, saya mengadakan kegiatan diskusi dan berbagi untuk mendiseminasikan budaya positif di sekolah. Saat memulai modul tentang budaya positif ini, saya merasa sangat antusias. Kebetulan, di awal tahun ajaran ini, beberapa murid curhat kepada saya bahwa mereka tidak menyukai diskusi reflektif karena merasa seperti sedang disidang atas kejadian tertentu, yang pada akhirnya selalu membuat mereka menjadi pihak yang disalahkan. Mereka mengakui bahwa hal ini membuat mereka cepat menyerah dan memilih meminta maaf hanya karena enggan terlibat dalam diskusi yang berlarut-larut, apalagi ketika merasa alasan mereka tidak didengar. Mendengar cerita ini, saya sangat terkejut karena merasa para guru, termasuk saya, sudah dibekali pemahaman tentang praktik budaya dan disiplin positif. Cerita ini membuat saya bertanya-tanya dan merenungkan apakah ada yang salah dalam pelaksanaannya selama ini. Selain keluhan dari murid, beberapa rekan guru juga merasa pesimis dengan penerapan budaya positif, karena mereka merasa tidak melihat perubahan perilaku yang signifikan. Apakah benar Disiplin Positif adalah praktik yang lemah dan tidak efektif?
Saya mengadakan kegiatan belajar dan berbagi ini sebanyak dua kali, pertama dengan rekan rekan sejawat dan yang kedua dengan teman teman di komunitas guru belajar. Keduanya sangat menarik dan memberikan banyak wawasan berharga yang bisa diambil.
Berbagi praktik budaya positif di sekolah
Saya mengundang 10 teman untuk berbagi dan belajar bersama pada hari Selasa, 20 Agustus 2024. Rencananya kegiatan ini berlangsung selama 60 menit, tetapi diskusi akhirnya berlanjut hingga sekitar pukul 16.20. Saya memulai kegiatan dengan memberikan pertanyaan pemantik mengenai perbedaan antara disiplin dan disiplin positif untuk mengevaluasi pemahaman awal teman-teman. Mereka kemudian menyampaikan pandangan mereka tentang perbedaan antara kedua konsep tersebut. Dalam konteks disiplin, terdapat rasa tertekan dan terintimidasi, dengan adanya pihak superior, seperti guru, dan pihak yang merasa tertekan, yaitu murid. Berbeda dengan disiplin positif, yang mengandung makna kesadaran dari dalam diri pelaku—misalnya, murid yang melakukan pelanggaran. Dari diskusi ini, dapat disimpulkan bahwa perbedaan utama antara disiplin dan disiplin positif terletak pada sumber motivasinya. Disiplin cenderung didorong oleh motivasi eksternal, seperti rasa takut atau malas, sedangkan disiplin positif muncul dari motivasi intrinsik, di mana individu dengan kesadaran penuh menyadari kesalahannya tanpa dipaksa untuk mengaku.
Berangkat dari pemahaman ini saya mengajak teman teman melihat dua contoh kasus (simulasi) lalu meminta teman teman mengidentifikasi langkah langkah yang dilakukan guru dalam menghadapi pelanggaran yang dilakukan murid. Ada dua kasus yaitu keterlambatan yang berlangsung sering dan konflik antara dua murid. Teman teman menyampaikan beberapa poin:
- Diskusi diawali dengan menyapa dan berusaha membuat murid nyaman untuk memulai diskusi lalu konfirmasi kejadian pun dilakukan. Murid juga diajak memahami perbuatannya salah melalui refleksi tentang konsekuensi dari tindakan tersebut. Setelah itu murid diarahkan untuk berefleksi ke kesepakatan yang sudah dimabil dan di akhir diskusi murid diarahkan untuk mencari solusi terhadap permasalahan dia.
- Dalam contoh penyelesaian, guru menunjukkan sikap mengayomi dan sabar dan mendampingi murid untuk memahami permasalahan utama dan solusinya.
- Murid tampak nyaman bercerita dan bisa berdiskusi dengan baik, tidak tampak rasa tertekan atau takut.
Diskusi lalu saya arahkan ke penerapan segitiga resitusi, teori kebutuhan dasar dan posisi kontrol guru.
Saya menjelaskan bahwa dalam melaksanakan diskusi reflektif, penting untuk mengikuti langkah-langkah segitiga restitusi. Pertama, stabilkan identitas: hilangkan asumsi dan gunakan praduga tak bersalah, dengan fokus pada penyelesaian masalah, bukan pada siapa yang bersalah. Langkah berikutnya adalah memvalidasi kesalahan, di mana kita berusaha memahami alasan di balik perilaku tersebut dengan menerapkan teori kebutuhan dasar. Terakhir, arahkan diskusi menuju keyakinan atau nilai-nilai bijak universal untuk menemukan solusi.
Dalam menerapkan segitiga restitusi, kita juga harus sadar dengan sikap dan pendekatan yang kita gunakan. Penting untuk mengenali posisi kontrol apa yang kita ambil dalam diskusi—apakah kita bertindak sebagai penghukum, pembuat rasa bersalah, teman, pemantau, atau manajer? Secara ideal, peran yang diharapkan adalah sebagai manajer, yang fokus pada membantu anak-anak memahami perilaku mereka, konsekuensinya, serta mencari solusi.
Untuk mengukur pemahaman teman-teman, saya meminta mereka untuk bermain peran berdasarkan kasus-kasus yang pernah mereka hadapi, dan saling memberikan umpan balik. Menarik melihat bagaimana mereka mencoba menerapkan segitiga restitusi dengan pemahaman teori kebutuhan dasar dan posisi kontrol. Dari praktik ini, teman-teman kemudian merefleksikan dan memberikan umpan balik terhadap apa yang telah mereka pelajari.
Berbagi praktik budaya positif di Komunitas Guru Belajar
Untuk sesi kedua, saya mengadakan kegiatan diseminasi dengan teman-teman di Komunitas Guru Belajar Surabaya secara daring pada hari Minggu, 25 Agustus 2024, pukul 19.00 - 20.30. Fakta mengejutkan bagi saya adalah bahwa dari teman-teman yang hadir, ada yang berasal dari luar kota Surabaya, bahkan dari seberang, seperti Madura dan Kalimantan Timur. Jumlah keseluruhan peserta adalah 53 orang. Hal ini membuat saya semakin bersemangat karena melihat motivasi teman-teman dalam belajar.
Dalam sesi kedua, saya memulai dengan pemahaman tentang disiplin dan disiplin positif, lalu menunjukkan contoh keyakinan kelas yang kami buat bersama murid. Saya menjelaskan proses pembuatan keyakinan kelas dan bagaimana murid-murid aktif dalam menyusun poin-poin perilaku serta konsekuensi jika dilanggar. Selanjutnya, saya memberikan contoh kasus seperti di sesi pertama dan meminta teman-teman untuk menyampaikan langkah-langkah yang diambil oleh guru dalam video serta sikap guru selama diskusi. Dari jawaban mereka, saya mengkonfirmasi dengan menjelaskan segitiga restitusi, teori kebutuhan dasar, dan posisi kontrol guru. Saya juga memberikan dua contoh kasus sebagai latihan untuk menunjukkan pemahaman teman-teman.
Di akhir sesi, saat sesi Q&A, terjadi diskusi seru. Salah satu teman menyampaikan bahwa penerapan disiplin positif tidak efektif karena kesadaran murid tidak muncul, dan menurutnya, sanksi seperti denda 500 rupiah untuk perilaku membuang sampah sembarangan lebih berhasil. Pertanyaan pemantik yang saya ajukan adalah, jika denda dicabut, apakah perilaku baik mereka akan konsisten atau kembali ke perilaku semula. Saya menekankan bahwa sanksi bisa sangat rancu dan motivasi yang ditimbulkan sering kali bukan dari diri sendiri, melainkan karena rasa takut. Yang ditakutkan adalah motivasi intrinsik murid tidak muncul. Penerapan hukuman atau sangsi tidak tepat karena dampak yang ditimbulkan adalah penghentian perilaku dan itu berlagsung dalam jangka pendek tidak berkelanjutan. Apabila ada disiplin positif, muncul motivasi intrinsika yang disertai pemahaman dan penguatan positif atau perilaku dan konskuensi sehing mereka tidak mengulang kesalahan yang sama.
Dua kegiatan ini sangat menarik karena saya dapat melihat berbagai perspektif dari teman-teman. Beberapa hal yang bisa saya ambil dari pengalaman tersebut adalah:
- Penerapan disiplin atau budaya positif memerlukan waktu dan proses yang panjang, karena dampaknya tidak langsung terlihat.
- Sebagai pendidik, kita harus memandang murid sebagai individu utuh yang sedang belajar dan bisa berubah, sama seperti keyakinan kita pada diri sendiri untuk belajar dan membawa perubahan.
- Kunci utama dalam disiplin positif adalah penguatan dan pemahaman, bukan hanya menghentikan perilaku.
- Disiplin positif dapat membantu anak-anak mengembangkan keterampilan pemecahan masalah, yang merupakan keterampilan penting yang kita ingin miliki oleh murid.
- Keberhasilan praktik budaya positif bergantung pada konsistensi dan komitmen kita terhadap tujuan pendidikan, yaitu membantu murid mencapai potensi mereka dengan kepribadian dan budi pekerti yang luhur sesuai dengan tuntutan zaman dan alam.
Semoga tulisan saya, bisa memberikan sedikit gambaran tentang bagaimana mewujudkan budaya positif di sekolah. Semoga bermanfaat dan terima kasih.
Sejak mengikuti Program Guru Penggerak, saya menguatkan paham bahwa mengajar bukan hanya tentang mentransfer pengetahuan, tetapi juga tentang mendidik karakter. Sebuah kutipan yang saya dapat, “Mengajarkan anak menghitung itu baik, namun mengajarkan mereka apa yang berharga adalah yang terbaik.” Kutipan ini merangkum esensi pendidikan yang sebenarnya: tidak cukup hanya mengajarkan keterampilan akademis, tetapi juga menanamkan nilai-nilai kehidupan yang mendalam. Dalam perjalanan ini, saya belajar untuk lebih fokus pada pembentukan karakter siswa. Misalnya, ketika mengajar, saya tidak hanya mengejar hasil akademis yang tinggi, tetapi juga mencoba menanamkan nilai tanggung jawab dan kemandirian. Sebagai seorang pendidik, saya merasa bertanggung jawab untuk membantu mereka memahami bahwa kehidupan tidak hanya diukur dari nilai atau prestasi akademis, tetapi juga dari bagaimana mereka berkontribusi pada lingkungan sosial dan komunitasnya. Program Guru Penggerak juga mengajarkan saya untu...
Comments
Post a Comment