Skip to main content

RPP Deep Learning??!!!

"Ini RPPnya kow begini ya, formatnya salah" "RPP merdeka belajar itu seperti apa? tolong dong contohnya." "Teman-teman, yang punya RPP Deep Learning.Tolong share" Percakapan seperti ini sering muncul setiap kali guru berkumpul. Setiap menjelang akreditasi, ribut soal format RPP. Ganti menteri, ribut lagi. Seolah format RPP menjadi hal yang paling penting dalam perencanaan pembelajaran. Padahal, buat saya, RPP (Rencana Pelaksanaan Pembelajaran) bukan soal format atau template baku. Saya lebih suka menyebutnya lesson plan, karena esensinya adalah rancangan yang memandu guru dalam memfasilitasi proses belajar murid. Maka, aneh rasanya kalau semua guru harus mengikuti satu format yang seragam. Setiap guru punya gaya, cara, dan konteks yang berbeda. Fokus seharusnya bukan pada tampilannya, tapi isi RPP itu sendiri. Apakah ia benar-benar mencerminkan proses belajar yang bermakna? Keributan tentang format RPP sering ditemui setiap ketemu teman teman guru.Tiap akreditasi ribut. Tiap ganti menteri ribut format RPP. Ada apa dengan format RPP? Kali ini, saya ingin menyoroti isi dari RPP yang berorientasi pada deep learning, bukan formatnya. Apa itu Deep Learning dalam pendidikan? Menurut taksonomi Bloom, ada berbagai tingkatan dalam pencapaian tujuan belajar, mulai dari mengingat hingga mencipta.
https://wegrowteachers.com/what-is-blooms-revised-taxonomy/ Deep learning berada pada tiga tingkat tertinggi: menganalisis, mengevaluasi, dan mencipta. Ini berbeda dari surface learning yang hanya sebatas menghafal atau memahami di permukaan. Jika dilihat dari tingkatan ini maka tujuan pembelajaran Deep Learning adalah murid mampu - Mengaitkan pengetahuan baru dengan yang sudah dimiliki - Menganalisis secara kritis - Menarik kesimpulan atau bahkan menciptakan solusi dari proses berpikirnya. RPP Deep Learning itu seperti apa dong? RPP yang menunjukkan praktik deep learning adalah RPP yang memuat kegiatan pembelajaran yang mendorong murid untuk berpikir kritis, bertanya, menyelidiki, dan menyimpulkan. Dalam pendekatan ini, guru bukan sebagai penyampai pengetahuan, melainkan sebagai fasilitator yang memancing rasa ingin tahu murid melalui pertanyaan terbuka dan menantang. Jadi elemen yang penting dari RPP Deep Learning adalah: - Pertanyaan provokatif dan esensial dari guru: Untuk membangkitkan rasa ingin tahu dan menstimulasi pemikiran mendalam - Diferensiasi: Memberi ruang bagi murid untuk mengungkapkan pemahaman dengan caranya sendiri - Refleksi: Memberi kesempatan murid merefleksikan proses belajarnya - Pendekatan inkuiri: Pembelajaran berbasis pertanyaan dan pencarian makna - Asesmen otentik: Bukan sekadar pilihan ganda, tetapi tugas yang menantang murid berpikir dan mencipta Jadi, alih-alih ribut soal format, mari kita fokus pada substansi—apakah RPP kita sudah mendorong murid untuk benar-benar berpikir dan belajar secara mendalam? Sudahkah kita merancang pengalaman belajar yang mengajak murid bertanya, mencari, menganalisis, dan mencipta? Berikut saya lampirkan contoh RPP yang merepresentasikan proses deep learning. Link: RPP Deep Learning Semoga bermanfaat. Jika ingin berdiskusi lebih lanjut, silakan tinggalkan komentar atau hubungi saya lewat email di ely.virgijanti@gmail.com.

Comments

  1. Saya juga memiliki pandangan yang hampir sama Bu, dan sepertinya hampir sama dengan gagasan KurMer, memang pembelajaran itu harus lebih bermakna bagi peserta didik... Seperti teori Bruner... Hehehe,
    Tapi banyak yg salah sangka bahwa deep learning adl kurikulum... Mengapa demikian?

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Menciptakan Perubahan: Catatan Perjalanan di Program Guru Penggerak

Sejak mengikuti Program Guru Penggerak, saya menguatkan paham bahwa mengajar bukan hanya tentang mentransfer pengetahuan, tetapi juga tentang mendidik karakter. Sebuah kutipan yang saya dapat, “Mengajarkan anak menghitung itu baik, namun mengajarkan mereka apa yang berharga adalah yang terbaik.” Kutipan ini merangkum esensi pendidikan yang sebenarnya: tidak cukup hanya mengajarkan keterampilan akademis, tetapi juga menanamkan nilai-nilai kehidupan yang mendalam. Dalam perjalanan ini, saya belajar untuk lebih fokus pada pembentukan karakter siswa. Misalnya, ketika mengajar, saya tidak hanya mengejar hasil akademis yang tinggi, tetapi juga mencoba menanamkan nilai tanggung jawab dan kemandirian. Sebagai seorang pendidik, saya merasa bertanggung jawab untuk membantu mereka memahami bahwa kehidupan tidak hanya diukur dari nilai atau prestasi akademis, tetapi juga dari bagaimana mereka berkontribusi pada lingkungan sosial dan komunitasnya. Program Guru Penggerak juga mengajarkan saya untu...

Guru, Emosi dan Murid Bermasalah

Guru: "Kamu kemana tadi? kenapa tidak ikut jam pelajaran saya?" Murid: "Saya ikut sosialisasi bu. Saya sudah menuliskan nama di list, dan katanya akan dimintakan ijin?" Guru: "Gak ada namanu di list, kamu bohong ya?" Murid: "Gak bu, saya sudah menuliskan nama saya." Guru: "Sudah , pokoknya kamu salah." Murid: "Maaf bu, kalau saya salah." Guru: "Dah, kamu tidak usah ikut UH dan tidak mendapatkan nilai." Ada yang pernah mengalami hal ini tidak semasa sekolah? Atau, mungkin ada yang pernah melakukan ini sebagai guru? Percakapan diatas diambil dari sebuah pengalaman murid. Ia merasa bingung dan sedih karena dimarahi meskipun sudah melakukan seperti yang diinstruksikan, menulis nama dan minta ijin. Setelah membaca dialog diatas bagaimana perasaan kita. Apakah memang muridnya yang sudah kurang ajar? Atau gurunya kurang sabar dan bisa dibilang normal dia marah seperti itu terhadap murid tersebut? Guru adalah manusia dan seb...