Skip to main content

Guru, Emosi dan Murid Bermasalah

Guru: "Kamu kemana tadi? kenapa tidak ikut jam pelajaran saya?"
Murid: "Saya ikut sosialisasi bu. Saya sudah menuliskan nama di list, dan katanya akan dimintakan ijin?"
Guru: "Gak ada namanu di list, kamu bohong ya?"
Murid: "Gak bu, saya sudah menuliskan nama saya."
Guru: "Sudah , pokoknya kamu salah."
Murid: "Maaf bu, kalau saya salah."
Guru: "Dah, kamu tidak usah ikut UH dan tidak mendapatkan nilai."

Ada yang pernah mengalami hal ini tidak semasa sekolah? Atau, mungkin ada yang pernah melakukan ini sebagai guru?

Percakapan diatas diambil dari sebuah pengalaman murid. Ia merasa bingung dan sedih karena dimarahi meskipun sudah melakukan seperti yang diinstruksikan, menulis nama dan minta ijin. Setelah membaca dialog diatas bagaimana perasaan kita. Apakah memang muridnya yang sudah kurang ajar? Atau gurunya kurang sabar dan bisa dibilang normal dia marah seperti itu terhadap murid tersebut? Guru adalah manusia dan sebagai manusia guru punya emosi. Guru bisa kecewa, sedih, gembira dan bahkan marah. Itu adalah hal yang wajar. Tetapi, apakah guru memiliki kedudukan lebih tinggi dan berhak menentukan nasib seorang murid tanpa ada diskusi. Lalu dengan ini apakah guru dianggap setara dengan murid dalam hal pengelolaan emosi? Secara usia guru seharusnya memiliki kontrol lebih baik. Guru juga contoh dan seringkali murid belajar bukan dari pelajaran di kelas tetapi lebih cepat dari contoh yang mereka lihat dari orang dewasa. Bagaimanakah seorang guru harus bersikap dalam menghadapi permasalahan dengan murid?

  1. Ajak murid murid yang terlibat permasalahan ini berdiskusi! Kita coba menyikapi masalah dari sudut pandang yang berbeda. Seringkali, kita lupa dan menganggap sudut pandang kita adalah yang benar sehingga di awal diskusi kita sudah memvonis murid ini bersalah tanpa mendengar cerita dari sisi mereka. Konfirmasi dan klarifikasi sanga penting untuk memahami masalah sebenarnya. Ini dilakukan untuk bisa menemukan solusi yang tepat atau langkah yang tepat untuk menyelesaikan masalah.Mencoba mendengarkan murid dan berusaha melihat dari sisi mereka akan membuat mereka merasa lebih dihargai dan lebih terbuka untuk bercerita. Dalam diskusi kita harus menghindari kata kata yang menghakimi atau yang menunjukkan bahwa kita hanya ingin ini cepat selesai supaya tidak lama lama atau terkesan ogah ogahan berdiskusi.
  2. Refleksi itu wajib. Dalam diskusi ajaklah murid berefleksi atas apa yang sudah terjadi, bagaimana bisa terjadi dan apa akibat dari permasalahan tersebut. Dari berefleksi, ajaklah murid untuk menentukan solusi dan langkah apa yang bisa diambil kedepannya supaya tidak terulang lagi. Tuntun mereka untuk bisa berpikir kritis dan bernalar logis. Solusi yang berasal dari kesadarn sendiri adalah solusi yang paling tepat dan dari murid akan tumbuh komitmen secara mandiri.
Penyelesaian masalah yang baik harus dilatih sejak dini. Guru juga memberikan teladan untuk mengontrol emosi dan juga menyelesaikan masalah dengan baik. Dengan pembiasaan diskusi dan refleksi, muid akan menjadi pribadi yang matang secaa emosi dan mental serta mampu berpikir kritis dan logis menemukan solusi.


Comments

  1. Setuju Bu, terima kasih banyak sudah sharing. Beberapa klien saya juga menyatakan salah satu yang membuat kepercayaan diri kurang adalah karena guru tidak memberikan ruang untuk dirinya berekspresi (selain di rumah juga mendapatkan perilaku demikian). Semoga ke depannya hal-hal seperti ini bisa diantisipasi.

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Menciptakan Perubahan: Catatan Perjalanan di Program Guru Penggerak

Sejak mengikuti Program Guru Penggerak, saya menguatkan paham bahwa mengajar bukan hanya tentang mentransfer pengetahuan, tetapi juga tentang mendidik karakter. Sebuah kutipan yang saya dapat, “Mengajarkan anak menghitung itu baik, namun mengajarkan mereka apa yang berharga adalah yang terbaik.” Kutipan ini merangkum esensi pendidikan yang sebenarnya: tidak cukup hanya mengajarkan keterampilan akademis, tetapi juga menanamkan nilai-nilai kehidupan yang mendalam. Dalam perjalanan ini, saya belajar untuk lebih fokus pada pembentukan karakter siswa. Misalnya, ketika mengajar, saya tidak hanya mengejar hasil akademis yang tinggi, tetapi juga mencoba menanamkan nilai tanggung jawab dan kemandirian. Sebagai seorang pendidik, saya merasa bertanggung jawab untuk membantu mereka memahami bahwa kehidupan tidak hanya diukur dari nilai atau prestasi akademis, tetapi juga dari bagaimana mereka berkontribusi pada lingkungan sosial dan komunitasnya. Program Guru Penggerak juga mengajarkan saya untu...

RPP Deep Learning??!!!

"Ini RPPnya kow begini ya, formatnya salah" "RPP merdeka belajar itu seperti apa? tolong dong contohnya." "Teman-teman, yang punya RPP Deep Learning.Tolong share" Percakapan seperti ini sering muncul setiap kali guru berkumpul. Setiap menjelang akreditasi, ribut soal format RPP. Ganti menteri, ribut lagi. Seolah format RPP menjadi hal yang paling penting dalam perencanaan pembelajaran. Padahal, buat saya, RPP (Rencana Pelaksanaan Pembelajaran) bukan soal format atau template baku. Saya lebih suka menyebutnya lesson plan, karena esensinya adalah rancangan yang memandu guru dalam memfasilitasi proses belajar murid. Maka, aneh rasanya kalau semua guru harus mengikuti satu format yang seragam. Setiap guru punya gaya, cara, dan konteks yang berbeda. Fokus seharusnya bukan pada tampilannya, tapi isi RPP itu sendiri. Apakah ia benar-benar mencerminkan proses belajar yang bermakna? Keributan tentang format RPP sering ditemui setiap ketemu teman teman guru.Tiap...