Setiap mengajar mengarang perasaan saya sudah tidak enak. Di pagi hari sambil menunggu murid datang satu persatu hingga lengkap, saya habiskan waktu di depan komputer. Saya mencoba keberuntungan saya klik sini klik sana karena masih merasa tidak yakin dengan rencana yang sudah saya buat. Saya mencari dari satu laman ke laman yang lain mencari ide aktivitas kelas apa yang bisa membuat siswa tertarik untuk belajar menulis. Seperti yang saya prediksikan, respons yang saya dapatkan dari murid adalah sama, ‘aaaaaaaahhhh mengarang’.
Masalah seperti ini dari dulu sudah saya alami. Saya mencoba berbagai cara dan mencari penyebabnya. Hasil temuan saya waktu itu adalah susunan penulisan murid tidak terstruktur dengan baik. Saya memutar kepala mencoba mencari cara agar murid mampu membuat tulisan dengan struktur yang sesuai aturan. Saya ajak mereka belajar kerangka karangan dengan grafik. Saya menggunakan flashcard. Saya menggunakan game. Semua saya lakukan agar murid bisa tertarik untuk belajar. Hasil yang saya dapatkan sama yaitu mereka tidak bersemangat dalam mengikuti dan menyelesaikan tugas menulis.
Dari zaman saya SD sampai sekarang menjadi guru SD, tetap saya merasa mengarang atau menulis adalah hal yang sulit untuk dilakukan dan sekarang sulit untuk diajarkan. Saya mencoba banyak cara yang menurut saya keren. Saya membuat bermacam template yang menarik perhatian murid. Namun cara cara yang saya pakai tetap tidak berhasil. Mereka tetap kompak mengeluh saat diminta menulis. Dengan cara yang menurut saya sudah keren ini, satu dua murid bisa termotivasi tetapi sebagian besar masih mengalami kesulitan. Ujung ujungnya mereka tidak menulis atau menulis dengan apa adanya, pokoknya mengumpulkan tugas. Apa yang salah?
Belajar dari film
Selama beberapa tahun terakhir, saya ikut dalam Komunitas Guru Belajar dan ada satu statement yang membuat saya tersadar, yaitu “Apakah murid anda merasa dipahami?” Saya teringat film Dead Poet Society yang dibintangi seorang aktor kawakan, Robin Wiliams. Tujuh remaja bersekolah di sebuah sekolah swasta ternama. Sekolah yang menanamkan kedisiplinan dan bermoto memberikan yang terbaik untuk murid muridnya. Sayang hal tersebut tidak dirasakan oleh murid muridnya terutama tujuh siswa tersebut. Seorang guru pengganti, John keating, membawa metode berbeda dalam pengajarannya, sastra inggris. Dia menyampaikan hal hal yang inspiratif dan membawa perubahan pada muridnya. Dia mengajak mereka untuk mencintai menulis puisi. Dia menekankan bahwa menulis puisi bukanlah hanya sekedar tentang keindahan merangkai kata kata. Menulis adalah gairah manusia. Gairah memberikan motivasi hidup. Dia memberikan pemahaman penggunaan kata kata dalam tulisan dengan menghubungkannya dengan kehidupan murid remajanya. Dia menuntun mereka untuk menemukan dirinya melalui tulisan untuk mengekspresikan diri. Apa yang dilakukan Keating menginspirasi tujuh murid ini untuk berubah dan mengejar impian mereka.
Keating bisa menginspirasi muridnya. Dia mencoba memahami kebutuhan dan karakter mereka yang menginjak usia remaja. Dia mencoba masuk ke dunia mereka. Dia mendekatkan menulis dengan kehidupan mereka sehari hari seperti pertemanan bahkan ke percintaan. Saya coba merefleksikan pengalaman saya saat mengajar menulis. Apakah cara yang saya lakukan sudah benar? Apakah itu menyelesaikan masalah yang dihadapi murid saya saat diminta menulis? Cara yang menurut saya keren apakah refleksi dari masalah saya atau masalah yang dihadapi murid saya? Lalu saya mencoba apa yang dilakukan Keating dengan muridnya.
Saya mencoba menyelami masalah apa yang sebenarnya dihadapi murid murid saya. Apa yang menyebabkan mereka malas menulis? Dari kondisi dan apa yang dialami murid saya dapat menyimpulkan permasalah yang mereka hadapi. Saya mendapatkan fakta bahwa sebenarnya mereka bukannya tidak bisa menulis. Mereka tidak tahu fungsi dari menulis dan menganggap menulis adalah sebuah siksaan.
Hubungkan menulis dengan kebebasan ekspresi
Kalau ditanya kenapa murid sangat tidak suka menulis? Jawaban yang didapatkan dari teman teman kolega saya adalah murid malas, murid kurang imajinasi, siswa kurang perbendaharaan kata dan lain sebagainya. Padahal kalau kita pikirkan lebih dalam, imajinasi justru melekat dalam diri anak anak. Eksplorasi dan petualangan adalah jiwa anak anak. Jadi apakah benar murid saya tidak bisa menulis karena kurang imajinasi atau kurang bereksplorasi? Saya sering melihat karya tulis murid yang terbatas dalam bentuk dan aktifitas tertentu. Menulis yang selama ini melekat adalah menulis huruf per huruf dirangkai menjadi kata dan menjadi kalimat. Padahal menurut pengalaman saya inti menulis adalah mengekspresikan perasaan, ide dan opini sama seperti halnya berbicara.
Saya mencoba pendekatan yang berbeda. Di awal saya meminta murid untuk membuat biodata pribadi mereka. Saya meminta mereka membawa foto yang berkaitan dengan diri mereka entah itu foto keluarga, makanan favorit mereka, tempat liburan favorit, minuman favorit, binatang peliharaan dan masih banyak yang lainnya. Saya sediakan lembaran dengan kolom foto dan kolom bergaris untuk tulisan mereka. Saya beri instruksi dan contoh yang jelas tentang apa yang harus mereka lakukan, seperti nama, usia, hobi lalu menceritakan tentang gambar yang mereka bawa, cukup 3 kalimat saja.
Setelah itu saya minta mereka berpasangan dan bertukar lembar informasi tadi. Dari lembar informasi yang diamati masing masing siswa saya minta mereka menyiapkan pertanyaan yang berkaitan dengan gambar tersebut. Dari pertanyaan pertanyaan yang diajukan, murid akan menambahkan kalimat dengan memberikan deskripsi tambahan berkaitan dengan pertanyaan pertanyaan yang diberikan. Hal ini akan membantu murid mengelaborasi ide tetapi tidak terkesan kaku karena dilakukan dengan teman sebaya. Saya ajak murid untuk melakukan refleksi tentang menulis. Saya ajak mereka memahami bahwa menulis sebenarnya sama seperti kita berbicara. Saya menambahkan bahwa menulis memiliki kelebihan dibandingkan menyampaikan sesuatu secara lisan. Saya sampaikan bahwa dengan menulis, kita masih bisa mengkoreksi dan merevisi tulisan.
Kemudian saya naikkan level dengan membedakan konten. Saya berikan tema bebas, bisa hobi, film favorit, makanan favorit atau minuman favorit. Saya biarkan murid menulis apapun sesuai dengan imajinasi mereka. Saya tidak tekankan berapa kata atau berapa kalimat yang harus mereka tulis. Saya tidak memaksakan bentuk tulisan narasi, deskripsi bahkan mereka bisa menulis dan menggambar sekaligus.
Disini saya ingin mengenalkan murid dengan kebiasaan menulis sebagai media berekspresi. Saya ajak mereka berdiskusi tentang cerita yang mereka tulis. Saya ajukan pertanyaan pertanyaan yang bertujuan membantu mereka mengelaborasikan tulisan mereka. Ini tidak terjadi satu kali atau dua kali. Ini tidak bisa diukur seminggu atau dua minggu. Ini membutuhkan proses dan setiap siswa bervariasi. Tetapi jangan menunjukkan sikap patah arang atau bosan mendiskusikan tulisan mereka.
Kami menyediakan satu folder khusus per murid untuk menyimpan tulisan mereka bahkan kami bagi menjadi proses tulisan awal atau draft, revisi, edit dan publikasi. Penggunaan folder ini untuk mengenalkan siswa pada tahap tahap menulis dan memberikan pemahaman bahwa memang sudah sewajarnya membutuhkan proses bertahap. Murid juga bisa membuka kembali folder ini dan melihat perkembangan mereka secara pribadi. Saya juga biasa mendiskusikan ini dengan siswa seperti flashback perjalanan pengalaman menulis.
Kenali minat, bakat dan kegemaran mereka
Saya menemukan bahwa setiap murid memiliki gaya berbeda dalam berekspresi. Saya coba menghubungkan minat dan gaya tiap siswa dengan kegiatan menulis. Saya tidak membatasi gaya menulis mereka. Saya menemukan dalam proses ini bahwa murid saya memiliki banyak minat yang bisa saya kaitkan dengan kegiatan menulis. Ada murid yang memang suka menulis, menggambar dan membuat kerajinan tangan. Di tengah proses, dengan tulisan pertama mereka, saya minta mereka menuangkan tulisan mereka dengan minat dan kesukaan mereka. Banyak ide yang keluar dari kepala mereka. Ada yang memilih membuat komik, cerita bergambar, storyboard bahkan ada yang memilih menulis diatas media kerajinan tangan seperti lampion, kubus cerita dan masih banyak lainnya.
Saya mendampingi mereka selama proses dari ide awal sampai pembuatan media. Saya menunjukkan apresiasi terhadap tulisan mereka. Saya tidak mengeluarkan kritikan ataupun memberikan skor untuk tulisan mereka. Saya melibatkan murid dalam proses refleksi dan evaluasi. Saya meminta masing masing murid menyampaikan apa yang mereka suka sari karya tulisan teman mereka untuk memberikan motivasi. Saya memberikan pertanyaan pertanyaan pancingan yang mengarahkan ke arah perbaikan tulisan mereka. Seperti, apabila berkaitan dengan konten tulisan, pertanyaan saya akan mengarah ke ide elaborasi tulisan.
Apresiasi tulisan mereka
Tidak hanya pada diri orang dewasa, anak anak pun akan merasa bahagia apabila apa yang mereka lakukan dinilai bagus dan diapresiasi dengan baik oleh guru dan orang tua mereka. Saya biasakan meminta siswa melakukan peer-evaluation dengan fokus kepada apa yang mereka sukai dari tulisan temannya. Saya juga mengapresiasi karya mereka dengan memberikan penyajian yang rapi dan indah layaknya karya yang akan diterbitkan. Saya minta mereka membacakan cerita yang mereka tulis ke adik adik kelas mereka. Saya mengikutkan karya mereka di beberapa pameran dan assembly orang tua di sekolah. Karya tulis siswa saya kumpulkan dan saya buat sebuah buku yang juga bisa menambah koleksi perpustakaan atau pojok baca di kelas. Saat mereka ingin membaca lagi tulisan mereka,
mereka bisa melakukan hal tersebut. Bertahap tapi pasti. Ada hal yang perlu diingat guru dalam motivasi siswa menulis, yaitu belajar bukan hanya butuh waktu sebentar atau sekali dua kali, tetapi merupakan rangkaian proses yang akan membantu murid mengembangkan kemampuan menulis dengan gaya masing masing.
Sampai sekarang saya melihat murid murid ini gemar menulis. Beberapa dari mereka memiliki cita cita menulis sebuah buku dan ada yang ingin menjadi jurnalis Sering saya lihat mereka menghabiskan waktu di perpustakaan untuk membuat tulisan. Bahkan ada yang membeli buku sketsa khusus untuk menulis pengalaman mereka sehari hari disekolah ataupun hal hal yang berkesan untuk mereka. Tak kenal maka tak sayang, tak sayang maka tak cinta. Dan kalau sudah cinta yang dihasilkan adalah semua yang indah. Dan ini sama seperti memotivasi murid untuk mencintai menulis.
Comments
Post a Comment