Skip to main content

Kesepakatan kelas menumbuhkan disiplin

"Bu, Anton ngomong terus dari tadi. Tidak mendengarkan temannya presentasi."

"Miss, Rio tidak mau bersih bersih setelah pakai alat tulis kelas"

"Lisa, dari mana?" "Toilet miss."

"Koq gak minta ijin dan lama sekali" "Sudah miss. Tadi aku minta ijin"

"Don, tugasnya mana? belum dikumpulkan." " Belum bu, nanti"

Ini adalah situasi yang tidak asing lagi untuk seorang guru. Sikap dan perilaku terutama berkaitan dengan disiplin merupakan tantangan yang berat utnu seorang guru dalam mengajarkan ini ke murid. 

Tidak sedikit guru yang berkeluh kesah betapa kedisiplinan murid di kelas kurang sekali padhal mereka merasa sudah membuat aturan dan menerapkan aturan tersebut secara konsisten dan sudah bersikap tegas. Hukuman hukuman pun akhirnya diberikan dengan harapan bisa membuat murid murid yang bermasalah ini jera. Yang pada akhirnya guru akan merujuk pada kebiasaan di rumah dan menyalahkan ketidak disiplinan murid pada pola asuh yang salah. Menyelesaikan masalah? tentu tidak. Terus bagaimana seharusnya?

Hukuman bisa menegakkan disiplin, karena ini bisa menimbulkan efek jera. Benarkah demikian? Kita analogikan saja dengan orang dewasa dalam mentaati peraturan lalu lintas atau peraturan dalam berkendara. Masih banyak orang dewasa yang seharunya menjadi pribadi yang lebih matang, melanggar aturan tersebut. Bahakan kita bisa sering melihat ini sehari hari saat kita berkendara. Hukuman dan denda diperberat tetapi hasil yang didapat tetap sama. Bahkan beberapa diantar orang orang dewasa ini mencuri curi kesempatan saat tidak ada polisi yang mengawasi dan tetap melanggar peraturan meskipun mereka tahu benar hukumannya apa. Disini kita bisa lihat bahwa efek jera juga tidak memberikan solusi untuk masalah kedisiplinan.

Coba kita bandingkan dengan situasi atau kondisi dimana kita merasa perlu melakukan sesuatu. Pada saat tersebut kita paham kenapa kita harus melakukan itu dan apa konsekuensi yang terjadi jika kita tidak melakukan itu. Sama seperti saat kita tidak melakukan sesuatu karena kita paham konsekuensinya apabila kita melanggar dan melakukan hal yang seharusnya tidak kita lakukan. Ingat kata kuncinya adalah pemahaman konsekuensi. Hukuman bukanlah konsekuensi.

Apa beda konsekuensi dan hukuman?

Menurut arti dari KBBI, konsekuensi adalah akibat (dari suatu perbuatan, pendirian dan sebagainya). Menurut Terapis dan Coaching Keluarga, Debbie Pinshus, MS LMHC, sperti yang dikutip dari artikel di majalah Hai Bunda, konsekuensi adalah hal hal yang mengalir secara alami dari pilihan, tindakan dan keputusan sesorang. Dia bisa 'baik' atau 'buruk', contohnya apabila kurang tidur maka akan mengantuk dan apabila rajin belajar makan akan bisa memahami materi dengan lebih baik. Bagaimana menerapkan ini di kelas.

Saya beri dua gambaran. Murid terlambat ke sekolah, manakah yang hukuman mana yang konsekuensi. 

A. Murid terlambat masuk kelas. Guru meminta murid tersebut menyapu halaman sekolah baru boleh masuk.

B. Murid terlambat masuk kelas. Guru mempersilahkan masuk. Lalu setelah kelas murid diajak berdiskusi dan berefleksi tentang apa yang terjadi saat dia terlambat dan diarahkan ke diskusi penyebab dia terlambat lalu kita bantu mencari solusi supaya tidak terlambat.

Tindakan mana yang merupakan hukuman dan tindakan mana yang merupkan pemahaman konsekuensi. Pada kondisi A, apa yang akan terjadi? Murid merasa malu, lalu timbul perasaan tidak senang danmungkin malas. Syukur syukur kalau dia akhirnya tidak terlambat karena tidak mau malu menyapu halaman. Lalu pertanyaannya kalau dia tidak terlambat apakah itu karena motivasi internal atau eksternal. Pada kondisi B murid diajak memahami efek yang akan terjadi karena keterlambatan dia. Bagaimana itu mempengaruhi dia dan juga kelas. Lalu murid diajak berdiskusi mencari solusi supaya tidak terlambat lagi. Disini murid akan merasa lebih dipahami dan motivasi internal akan tumbuh.

Bagaimana cara membuat murid kita memahami konsekuensi dari sebuah tindakan. Salah satu yang pernah saya praktekkan di kelas saya adalah kesepakatan kelas.

Apa itu Kesepakatan Kelas?

Pada tulisan saya sebelumnya, saya berbagi tentang disiplin positif. Kesepakatan kelas merupakan salah satu cara menunbuhkan disiplin positif yang bisa dilakukan sehari hari. Kesepakatan kelas juga bisa membantu kita menunbuhkan rasa kepemilikan terhadap kelas dalam diri murid.

Kesepakatan kelas adalan aturan aturan yang dibuat bedasarkan kesepakatan bersama dan diskusi bersama menekankan pada tujuan dan konsekuensi bukan hukuman.

Di jaman sekolah saya dahulu dan bahkan di sebagian besar sekolah sekolah yang ada sekarang, dari level paling kecil sampai level paling tinggi, sering sekali kita lihat aturan aturan disampaikan tanpa ada diskusi untuk memahami tujuan dari peraturan tersebut dan konsekuensi dari penerapan aturan atau pelanggaran aturan. Inilah salah satu dari alasan sering terjadinya pelanggaran aturan, karena terkesan mengekang dan membatasi. Perasaan ini disebabkan kurangnya pemahaman.

Kapan kita membuat kesepakatan kelas?

Di setiap awal tahun ajaran, murid akan mengikuti minggu orientasi. Kesempatan ini bisa digunakan sebagai waktu untuk saling mengenal dan memahami satu sama lain. Gur dan murid serta anatr murid dalam kelas. Saya biarkan momen ini mengalir begitu saja bahkan jika ada konflik saya juga memberikan kesempatan untuk murid murid menyelesaikan konflik tersebut tentu dengan panduan dan observasi dari saya sebagai guru kelas.

Setelah seminggu masa orientasi, saya ajak murid murid untuk berdiskusi dan melakukan refleksi terhadap pengalaman belajar mereka di kelas selama satu minggu tersebut. Saya tanya apa yang terjadi dan bagaimana perasaan mereka. Lalu saya menarik arah diskusi tersebut ke dalam mencipatkan kelas yang nyaman untuk semua. Saya menekankan bahwa kelas ini adalah tanggung jawab bersama dan milik bersama, maka kenyamanan dan segala sesuatu yang mendukung hal tersebut merupakan tanggung jawab bersama.

Saya ajak mereka berdiskusi bagaimana menciptakan kelas yang nyaman sesuai dengan kriteria mereka seperti apa saja yang perlu kita lakukan dan apa saja yang tidak boleh dilakukan. Saya tulis ide ide dari mereka di papan. Lalu saya diskusikan satu demi satu. Untuk kalimat kalimat yang menggunkan bentuk negatif saya ubah menjadi kalimat bentuk positif dengan mkana yang sama. Hal ini untuk memudahkan dan memberikan gambaran yang jelas tentang apa yang murid perlu lakukan. 

Saya kelompokkan menjadi kategori kategori. Setelah semua tersusun dengan baik saya diskusikan lagi dengan murid. Setelah itu saya minta konfirmasi dari mereka apakah mereka semua sudah sepakat. Bisa juga dengan membubuhkan tanda tangan atau cap jempol supaya ada rasa terikat dengan kesepakatan yang telah dibuat. Pasang kesepakatan kelas tersebut di dalam kelas, agar proses refleksi dan diskusi berkala bisa dilakukan lebih mudah.

Konsistensi

Ini adalah hal yang paling sulit untuk dilakukan, tetapi merupakan hal yang merupakan faktor paling penting dari keberhasilan menerapakan kedisiplinan. Konsistensi membuthkan komitmen kuat dari semua pihak dan guru merupakan tauladan. 

Seringkali jika dihadapkan kepada sebuah permasalahan pelanggaran aturan, akan diambil jalan pintas karena malas mengambil langkah yang melibatkan diskusi diskusi panjang. Solusi yang cepat sering diambil untuk menghemat waktu. Padahal kunci pemahaman adalah diskusi berkala. Diskusi kesepakatan tidak hanya dilakukan saat awal, akhir dan saat ada masalah.

Pemahaman akan didapatkan secara utuh dari proses diskusi diskusi berkala yang merupakan bagian dari proses pembelajaran. Proses refleksi dan aksi yang merupakan siklus atau alur harus dilakukan danini merupakan langkah untuk mencapai konsistensi.

Penyelesaian konflik

Konflik atau masalah dalam kelas adalah hal lumrah yang dialami. tetapi bagaimana penyelesaian yang tepat? Apakah hanya dengan meminta murid untuk meminta maaf kepada temannya akan menyelesaikan masalahnya. Sering kita temui dengan meminta maaf tidak berarti menjamin murid tidak melakukan hal yang sama, malah cenderung akan melakukan hal yang sama secara diam diam. Ini berarti yang dihindari adalah hukuman bukan tindakan tindakan yang melanggar aturan. Ini bisa dikarenakan mereka belum memahami tujuan pembuatan peraturan dan keonsekuensi dari tindakan tersebut.

Apabila ada permasalah yang melibatkan dua pihak atau lebih, cara yang paling tepat berdasarkan pengalaman saya adalah melakukan diskusi dan refleksi melibatkan semua pihak tersebut. Guru adalah penengah dan membatu menyelesaikan masalah dengan berperan sebagai fasilitator. Ajak pihak pihak terebut (murid) untuk saling mendengarkan. Dari saling mendengarkan diharapkan mereka menjadai saling memahami dan ini akan menunbuhkan rasa saling menghargai dan menghormati. Dari saling mendengarkan tersebut ajak mereka mengidentifikasikan masalah yang sebenarnya terjadi. Dengan kemampuan memahami masalah sebenarnya maka solusi yang tepat bisa ditemukan untuk menyelesaiakn masalah atau konflik tersebut.




Comments

Popular posts from this blog

Menciptakan Perubahan: Catatan Perjalanan di Program Guru Penggerak

Sejak mengikuti Program Guru Penggerak, saya menguatkan paham bahwa mengajar bukan hanya tentang mentransfer pengetahuan, tetapi juga tentang mendidik karakter. Sebuah kutipan yang saya dapat, “Mengajarkan anak menghitung itu baik, namun mengajarkan mereka apa yang berharga adalah yang terbaik.” Kutipan ini merangkum esensi pendidikan yang sebenarnya: tidak cukup hanya mengajarkan keterampilan akademis, tetapi juga menanamkan nilai-nilai kehidupan yang mendalam. Dalam perjalanan ini, saya belajar untuk lebih fokus pada pembentukan karakter siswa. Misalnya, ketika mengajar, saya tidak hanya mengejar hasil akademis yang tinggi, tetapi juga mencoba menanamkan nilai tanggung jawab dan kemandirian. Sebagai seorang pendidik, saya merasa bertanggung jawab untuk membantu mereka memahami bahwa kehidupan tidak hanya diukur dari nilai atau prestasi akademis, tetapi juga dari bagaimana mereka berkontribusi pada lingkungan sosial dan komunitasnya. Program Guru Penggerak juga mengajarkan saya untu...

RPP Deep Learning??!!!

"Ini RPPnya kow begini ya, formatnya salah" "RPP merdeka belajar itu seperti apa? tolong dong contohnya." "Teman-teman, yang punya RPP Deep Learning.Tolong share" Percakapan seperti ini sering muncul setiap kali guru berkumpul. Setiap menjelang akreditasi, ribut soal format RPP. Ganti menteri, ribut lagi. Seolah format RPP menjadi hal yang paling penting dalam perencanaan pembelajaran. Padahal, buat saya, RPP (Rencana Pelaksanaan Pembelajaran) bukan soal format atau template baku. Saya lebih suka menyebutnya lesson plan, karena esensinya adalah rancangan yang memandu guru dalam memfasilitasi proses belajar murid. Maka, aneh rasanya kalau semua guru harus mengikuti satu format yang seragam. Setiap guru punya gaya, cara, dan konteks yang berbeda. Fokus seharusnya bukan pada tampilannya, tapi isi RPP itu sendiri. Apakah ia benar-benar mencerminkan proses belajar yang bermakna? Keributan tentang format RPP sering ditemui setiap ketemu teman teman guru.Tiap...

Guru, Emosi dan Murid Bermasalah

Guru: "Kamu kemana tadi? kenapa tidak ikut jam pelajaran saya?" Murid: "Saya ikut sosialisasi bu. Saya sudah menuliskan nama di list, dan katanya akan dimintakan ijin?" Guru: "Gak ada namanu di list, kamu bohong ya?" Murid: "Gak bu, saya sudah menuliskan nama saya." Guru: "Sudah , pokoknya kamu salah." Murid: "Maaf bu, kalau saya salah." Guru: "Dah, kamu tidak usah ikut UH dan tidak mendapatkan nilai." Ada yang pernah mengalami hal ini tidak semasa sekolah? Atau, mungkin ada yang pernah melakukan ini sebagai guru? Percakapan diatas diambil dari sebuah pengalaman murid. Ia merasa bingung dan sedih karena dimarahi meskipun sudah melakukan seperti yang diinstruksikan, menulis nama dan minta ijin. Setelah membaca dialog diatas bagaimana perasaan kita. Apakah memang muridnya yang sudah kurang ajar? Atau gurunya kurang sabar dan bisa dibilang normal dia marah seperti itu terhadap murid tersebut? Guru adalah manusia dan seb...