Skip to main content

Disiplin tanpa hukuman, bisakah?

Siswa dan guru adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Interaksi yang terjadi diantara keduanya baik dalam belajar mengajar didalam kelas ataupun diluar kelas tidak jarang menimbulkan permasalahan. Dulu ketika masa saya menjadi seorang siswa pihak yang disalahkan adalah selalu siswa, seperti siswa malas, siswa tidak tahu aturan, siswa nakal dan banyak sebutan lainnya. Sekarang kondisi sudah berubah, bukan hanya siswa yang disalahkan malah tidak jarang guru menjadi pihak yang disalahkan apalagi kalo berkaitan dengan pendisiplinan baik itu bersifat fisik seperti menjewar, mencubit atau psikologis seperti memberi nama panggilan yang tidak baik.

Diawal awal tahun saya mengajar, saya menjadi guru yang sangat pengertian mengingat pengalaman saya dulu semasa belajar dengan guru “galak” yang sangat tidak menyenangkan tetapi membekas sekali dalam ingatan. Waktu itu, dengan menjadi guru yang sangat pengertian atau bisa dikatakan menjadi teman mereka saya berharap jarak jurang pemisah antara guru dan siswa bisa dipersempit dan akan menimbulkan saling pengertian antar siswa dan saya, sebagai guru. Hasil yang saya dapatkan tidak seperti yang saya harapkan. Siswa memang menganggap saya guru yang asyik dan mereka terbuka dengan saya, tidak takut, tetapi “tidak adanya jarak” menyebabkan kondisi kondisi yang kadang tidak nyaman buat saya. Tidak sedikit siswa yang bersikap kurang hormat karena merasa dekat. Mereka memperlakukan saya seperti mereka memperlakukan teman seumuran mereka. Di tahun ketiga saya mencoba menjadi guru yang lebih disiplin dengan harapan siswa bisa membedakan interaksi mana yang diperbolehkan dan interaksi mana yang tidak diperbolehkan, tetapi hal ini seringkali menimbulkan ketidak jelasan dan kebingungan tertutama dalam pengambilan sikap saya sebagai guru seperti kapan harus menjadi pihak yang pengertian dan kapan harus tegas. Selama bertahun tahun saya terus bereksperimen dengan ini dan belum menemukan formula yang tepat.

Lalu saya mendapatkan kesempatan mengajar di sebuah sekolah swasta yang menerapkan aturan tidak ada hukuman baik bersifat fisik ataupun psikologis bahkan disekolah ini juga tidak menerapkan adanya hadiah atau reward. Di awal saya mengajar di sekolah itu saya masih bingung. Bagaimana bisa kita membuat murid paham aturan tanpa ada hukuman saat mereka melanggar?  Tapi saya mencoba mengikuti langkah langkah dan proses yang ada dan setelah saya merasakan beberapa tahun, apa yang diterapkan disekolah ini merupakan cara yang lebih manusiawi dan tepat untuk menerapkan kedisiplinan. Apa saja langkah langkah penerapannya? Saya rangkum dalam tulisan saya ini.






x

  1. Ajak siswa memahami dan membuat aturan bersama

Siswa seringkali dihadapkan dengan aturan yang sudah ada tetapi bukan mentaati peraturan tersebut mereka malah tertantang untuk melanggar aturan. Mengapa hal itu terjadi? Siswa memang diperkenalkan tentang apa saja yang boleh dan tidak boleh dilakukan tetapi mereka tidak diajak memahami aturan dan konsekuensinya apabila aturan dilanggar. Ini sudah terjadi sejak saya menjadi siswa hingga sekarang saya menjadi guru dan orang tua. Diawal tahun ajaran buku aturan disodorkan dan siswa serta orang tua diminta membaca dan mentaati aturan yang ada tanpa terkecuali bahkan didalamnya juga tertulis hukuman apabila pelanggaran aturan terjadi. Apabila melanggar aturan yang tertulis di buku maka poin akan dikurangi, yang mereka pahami sebagai konsekuensi bukan hukuman. 


Pemahaman terhadap aturan dan konsekuensi sangatlah penting. Siswa, orang tua dan seluruh anggota komunitas sekolah perlu memahami aturan aturan sekolah, mengapa aturan tersebut ada dan konsekuensinya. Oleh karena itu diskusi antara sekolah, wali murid dan siswa perlu diadakan.

 

Ada satu praktek disekolah tempat saya mengajar yang ingin saya jadikan bagi dengan teman teman, yaitu kesepakatan kelas. Pada awal tahun ajaran, diadakan masa orientasi siswa selama tiga hari, baik untuk siswa lama atau siswa baru. Masa orientasi ini ditujukan agar siswa dan guru bisa mengenal satu sama lain dan bersiap siap menghadapi tahun ajaran mendatang. Dalam orientasi siswa itu ada pembahasan tentang aturan aturan yang berlaku selama satu tahun ajaran penuh yang disebut dengan kesepakatan kelas. Aturan ini (kesepakatan kelas) dibuat oleh siswa dengan panduan saya, sebagai guru. Saya berdiskusi dengan siswa tentang hal hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan demi kenyamanan bersama saat belajar baik di dalam kelas maupun diluar kelas. Mereka boleh mengusulkan aturan aturan tetapi siswa diminta menjelaskan dan memberi contoh. Hal ini dilakukan supaya semua anggota kelas bisa memahami aturan yang diusulkan. Setelah semua usulan aturan terkumpul, saya mengajak siswa memilah apabila ada aturan yang memiliki maksud yang sama sambil berdiskusi memahami aturan aturan yang disepakati. Saya minta siswa untuk membuat pajangan aturan yang disepakati secara mandiri di tembok kelas dan terkadang mereka boleh menyertakan tanda atau simbol yang menandakan persetujuan mereka, seperti cap tangan atau tanda tangan. Proses ini menjadi proses yang kegiatan yang menyenangkan dan menjadi latihan siswa dalam bekerja sama.


Dengan melakukan hal ini akan membuat siswa merasa memiliki aturan tersebut dan memberikan rasa tanggung jawab bersama dalam menciptakan keamanan dan kenyamanan bersama selama proses belajar. Hal yang sama juga dilakukan dengan wali murid.


  1. Pemahaman dan penerapan konsekuensi


    Apa sih konsekuensi itu? Menurut kamus besar bahasa Indonesia konsekuensi adalah akibat (dari suatu perbuatan, pendirian, dan sebagainya). Dengan kata lain konsekuensi adalah efek yang berkaitan apabila sebuah aturan dilanggar. Jadi pemahaman saya apabila ada siswa yang lupa mengerjakan PR dan dia diminta berdiri di lapangan atau poin dalam buku dikurangi maka itu bukanlah konsekuensi karena tidak berkaitan dengan aturan yang dilanggar. 


Bagaimana bisa membuat siswa memahami apa yang dia lakukan benar atau salah tanpa ada reward atau hukuman? Satu yang perlu diingat bahwa tidak ada yang instan. Semua membutuhkan proses. Apalagi untuk hal yang berkaitan dengan pendidikan karakter dan perilaku. Oleh karena itu mulai lebih dini lebih baik. 


Saat ada pelanggaran yang dilakukan, maka saya akan mengajak siswa untuk reflektif terhadap apa yang sudah terjadi. Fokus pembicaraan akan dititikberatkan pada kesalahan apa yang sudah dilakukan bukan siapa yang salah. Dalam diskusi saya menuntun siswa untuk menemukan apa yang salah dan menyimpulkan konsekuensi apa yang terjadi karena kesalahan itu. Saya mengajak siswa yang terlibat masalah untuk reflektif dan mengulas kesepakatan kelas yang telah disepakati. Saat diskusi saya minta siswa untuk berbicara atau menceritakan yang terjadi secara runtut tanpa saya menyela. Kalau konflik melibatkan lebih dari satu saya minta mereka menceritakan secara bergantian. Hal ini membuat siswa merasa dihargai dan melatih mereka untuk bisa terbuka dan open minded dalam penyelesaian konflik. Mereka akan merasa didengar dan dengan merasa didengar akan timbul rasa menghormati yang lain. Yang perlu diingat, guru disini berfungsi sebagai moderator bukan hakim yang menentukan siapa yang salah dan hukuman apa yang akan dijatuhkan.


Pernah beberapa kali siswa saya bermasalah dalam bermain bersama. Ada dua siswa yang terlibat dalam perselisihan dan menimbulkan ketidaknyaman dalam waktu bermain. Saya ajak dua siswa ini duduk berdiskusi. Saya berikan kesempatan bergiliran mereka untuk menceritakan apa yang sudah terjadi dengan kesepakatan apabila ada teman yang bicara maka kita wajib mendengarkan. Setelah mendengarkan mereka menceritakan versi mereka masing masing, saya menceritakan ulang yang terjadi dengan menyambungkan benang merah cerita mereka. Saya meminta konfirmasi dari mereka beberapa kali saat saya menceritakan kembali apa yang sudah mereka ceritakan. Dari apa yang sudah saya ceritakan ulang, saya minta masing masing dari mereka untuk merefleksikan dan menyimpulkan apa yang salah dan akhirnya meminta mereka mencari solusi terhadap permasalahan mereka. Apabila solusi belum bisa ditemukan, saya minta mereka untuk tidak bermain dulu dan saya sampaikan bahwa ini bukanlah hukuman tetapi memberikan waktu. Biarkan mereka memahami bahwa apabila tidak bisa bermain dengan baik dengan teman maka lebih baik tidak bermain karena apa yang sudah dilakukan menciptakan ketidaknyamanan. 


  1. Reflektif dan diskusi secara berkala


Selain saat pembuatan aturan, diskusi secara berkala tetap dilakukan. Diskusi atau pembahasan tidak hanya dilakukan diawal tahun ajaran atau saat ada pelanggaran aturan. Hal ini akan membantu guru dan siswa untuk menyegarkan memori tentang kesepakatan kelas yang telah disepakati bersama sebelumnya. Dengan melakukan hal ini, siswa akan merasa bahwa mereka tidak hanya diajak diskusi saat mereka melanggar aturan saja. Bahkan diskusi berkala boleh dilakukan lebih sering, seperti dilakukan setiap minggu. Diskusi dari hati ke hati dengan siswa tentang hal ini juga akan membantu guru dan siswa lebih memahami satu sama lain. 


Saya dan siswa biasa meninjau ulang kesepakatan kelas yang telah dibuat bersama tiap awal term setelah liburan tengah semester atau akhir semester. Poin poin aturan yang sudah dibuat bisa dihilangkan apabila dianggap sudah dipahami dan tidak perlu dipajang. Dihilangkan bukan berarti tidak berlaku tetapi siswa dianggap sudah bisa memahami dengan baik dan bisa dipasang kembali jika dirasa perlu. Selain aturan lama bisa dihilangkan, aturan baru juga perlu untuk dipertimbangkan apabila dirasa ada yang perlu ditambahkan. Saya biarkan siswa berdiskusi dan meninjau ulang dengan panduan dan bimbingan saya.

    

        Cara cara diatas saya terapkan hingga sekarang. Ini tidak mudah dan memang membutuhkan proses yang berkelanjutan. Tetapi saya merasakan siswa saya bisa lebih baik dalam menyelesaiakan sebuah permasalahan. Siswa saya bisa mentaati peraturan yang ada dengan pemahaman yang baik terhadap aturan tersebut dan konsekuensinya. Mereka taat aturan dengan atau tanpa guru yang ada dekat mereka. Saya bahkan menerapkan juga hal ini dirumah dengan anak anak saya. Jadi apakah mungkin disiplin bisa diterapkan atau diajarkan tanpa hukuman? Jawaban saya, BISA!!


[ini adalah tulisan saya di SKGB edisi 16. Memanusiakan Murid Menumbuhkan Disiplin]

Comments

Popular posts from this blog

Menciptakan Perubahan: Catatan Perjalanan di Program Guru Penggerak

Sejak mengikuti Program Guru Penggerak, saya menguatkan paham bahwa mengajar bukan hanya tentang mentransfer pengetahuan, tetapi juga tentang mendidik karakter. Sebuah kutipan yang saya dapat, “Mengajarkan anak menghitung itu baik, namun mengajarkan mereka apa yang berharga adalah yang terbaik.” Kutipan ini merangkum esensi pendidikan yang sebenarnya: tidak cukup hanya mengajarkan keterampilan akademis, tetapi juga menanamkan nilai-nilai kehidupan yang mendalam. Dalam perjalanan ini, saya belajar untuk lebih fokus pada pembentukan karakter siswa. Misalnya, ketika mengajar, saya tidak hanya mengejar hasil akademis yang tinggi, tetapi juga mencoba menanamkan nilai tanggung jawab dan kemandirian. Sebagai seorang pendidik, saya merasa bertanggung jawab untuk membantu mereka memahami bahwa kehidupan tidak hanya diukur dari nilai atau prestasi akademis, tetapi juga dari bagaimana mereka berkontribusi pada lingkungan sosial dan komunitasnya. Program Guru Penggerak juga mengajarkan saya untu...

RPP Deep Learning??!!!

"Ini RPPnya kow begini ya, formatnya salah" "RPP merdeka belajar itu seperti apa? tolong dong contohnya." "Teman-teman, yang punya RPP Deep Learning.Tolong share" Percakapan seperti ini sering muncul setiap kali guru berkumpul. Setiap menjelang akreditasi, ribut soal format RPP. Ganti menteri, ribut lagi. Seolah format RPP menjadi hal yang paling penting dalam perencanaan pembelajaran. Padahal, buat saya, RPP (Rencana Pelaksanaan Pembelajaran) bukan soal format atau template baku. Saya lebih suka menyebutnya lesson plan, karena esensinya adalah rancangan yang memandu guru dalam memfasilitasi proses belajar murid. Maka, aneh rasanya kalau semua guru harus mengikuti satu format yang seragam. Setiap guru punya gaya, cara, dan konteks yang berbeda. Fokus seharusnya bukan pada tampilannya, tapi isi RPP itu sendiri. Apakah ia benar-benar mencerminkan proses belajar yang bermakna? Keributan tentang format RPP sering ditemui setiap ketemu teman teman guru.Tiap...

Guru, Emosi dan Murid Bermasalah

Guru: "Kamu kemana tadi? kenapa tidak ikut jam pelajaran saya?" Murid: "Saya ikut sosialisasi bu. Saya sudah menuliskan nama di list, dan katanya akan dimintakan ijin?" Guru: "Gak ada namanu di list, kamu bohong ya?" Murid: "Gak bu, saya sudah menuliskan nama saya." Guru: "Sudah , pokoknya kamu salah." Murid: "Maaf bu, kalau saya salah." Guru: "Dah, kamu tidak usah ikut UH dan tidak mendapatkan nilai." Ada yang pernah mengalami hal ini tidak semasa sekolah? Atau, mungkin ada yang pernah melakukan ini sebagai guru? Percakapan diatas diambil dari sebuah pengalaman murid. Ia merasa bingung dan sedih karena dimarahi meskipun sudah melakukan seperti yang diinstruksikan, menulis nama dan minta ijin. Setelah membaca dialog diatas bagaimana perasaan kita. Apakah memang muridnya yang sudah kurang ajar? Atau gurunya kurang sabar dan bisa dibilang normal dia marah seperti itu terhadap murid tersebut? Guru adalah manusia dan seb...